Berita

Agunan Menurut Islam

1 Januari 2024

Author: Nadia Nuryasmi Azizah

Lembaga keuangan dalam memberikan pembiayaan kepada pihak ketiga, tentunya harus menggunakan prinsip-prinsip pembiayaan yang baik termasuk risiko yang harus dihadapi atas pengembalian pembiayaan. Untuk memperoleh sebuah keyakinan sebelum memberikan pembiayaan, Lembaga keuangan tentu saja harus melakukan penilaian yang seksama baik terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, maupun prospek usaha pihak ketiga tersebut. Agunan merupakan jaminan tambahan yang diserahkan oleh debitur kepada pihak pemberi pembiayaan dalam rangka pemberi fasilitas kredit atau pembiayaan prinsip Syariah. Agunan hanya merupakan salah satu syarat yang diharuskan dalam pemberi fasilitas pembiayaan.

Fungsi Agunan

  • menjamin agar debitur dapat berperan serta dalam transaksi untuk membiayai usahanya sehingga kemungkinan untuk meninggalkan atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil.
  • Memberikan dorongan untuk memenuhi janjinya, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat-syarat yang telah disetujui agar debitur dan pihak ketiga yang ikut menjamin tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan.
  • Memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak Lembaga keuangan bahwa pembiayaan akan tetap kembali dengan cara mengeksekusi jaminan pembiayaan.
  • Memberikan hak dan kekuasaan kepada Lembaga keuangan untuk mendapatkan pelunasan dari agunan apabila debitur melakukan cidera janji, yaitu untuk pengembalian dana yang telah dikeluarkan oleh debitur pada waktu yang telah ditentukan. 
Agunan memiliki peran yang penting dalam sebuah pembiayaan. Oleh karena itu, penilaian terhadap agunan wajib dilakukan sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan menggambarkan objektivitas penilaian yang wajar atas agunan pembiayaan yang dimaksud.

Fatwa DSN-MUI Tentang Agunan

Dari segi hukum islam pada dasarnya akad-akad pembiayaan tidak mewajibkan adanya pembebanan agunan. Namun, keadaan dimana pembiayaan perbankan Syariah selalu disertai dengan risiko menimbulkan kebutuhan akan dasar hukum sebagai pijakan Lembaga keuangan untuk menarik agunan dari debitur. Kebutuhan atas dasar hukum tersebut terjawab dengan adanya fatwa-fatwa DSN-MUI yang mengatur tentang kebolehan penarikan agunan dalam pembiayaan. Agunan dalam praktik pembiayaan Syariah berlandaskan pada Fatwa DSN-MUI No. 68/DSN-MUI/III/2008 tentang rahn Tasjily, memperbolehkan adanya jaminan barang, yang dalam perkembangannya terbit Fatwa DSN-MUI No. 92/DSN-MUI/IV/2014 tentang pembiayaan yang disertai rahn (Al- Tamwil Al-Mautsuq Bi Al-Rahn) yang menegaskan adanya kebolehan penggunaan agunan pada pembiayaan/penyaluran dana Lembaga keuangan Syariah.

Dengan adanya kedua fatwa DSN-MUI tersebut, merupakan wujud DSN-MUI sebagai sole interpreter of Islamic economy di Indonesia yang memberikan jawaban atas perdebatan Ketika timbul pertanyaan apakah agunan boleh digunakan sebagai salah satu dasar pertimbangan pembiayaan dalam Lembaga keuangan Syariah, bahkan telah menjadi hal yang diwajibkan bagi debitur penerima fasilitas pembiayaan Lembaga keuangan Syariah.

Konsep Agunan Dalam Islam

Adanya pembebanan Agunan dalam pembiayaan Syariah menurut hukum islam lebih dikarenakan melihat adanya konsep rahn dan kafalah dalam islam, kaidah ushuliyah-fiqhiyah dan kaidah al-urf. Praktik pembiayaan Lembaga keuangan Syariah yang mensyaratkan adanya agunan sebagai dasar pemberi fasilitas pembiayaan disebabkan dengan adanya kesadaran akan risiko munculnya moral hazard berupa penyimpangan oleh pengelola dana atau debitur. Hal ini bukan karena islam mengadopsi prinsip kedudukan kreditur-debitur sebagaimana dalam hukum perikatan pada Lembaga keuangan konvensional. Sehingga kedudukan agunan dalam hal ini sebagai implementasi prinsip kehati-hatian Lembaga keuangan Syariah dalam menyalurkan pembiayaan, mengingat keberadaan dana yang disalurkan merupakan dana masyarakat yang harus dikeluarkan secara hati-hati.  Pengajuan pembiayaan pada Lembaga keuangan Syariah yang mewajibkan untuk memberikan agunan menunjukkan bahwa agunan mutlak diperlukan untuk memberikan kepastian bahwa dana yang diperoleh dari fasilitas pembiayaan tersebut dapat dikembalikan, atau setidaknya Lembaga keuangan yang memberikan pembiayaan tidak mengalami kerugian yang begitu besar semisal debitur melakukan wanprestasi. Kedudukan agunan dalam pembiayaan Syariah, diperlukan untuk pengikatan agar penerima pembiayaan menyerahkan agunan atas pembiayaan yang diterimanya dan pihak pemberi pembiayaan segera melaksanakan kewajibannya menurut perjanjian yang telah disepakati oleh kedua belah pihak. 

Suatu jenis agunan pembiayaan hendaknya dapat diikat secara sempurna agar dapat melindungi secara sempurna kepentingan Lembaga keuangan Syariah. Dalam hukum islam sendiri penjamin dilakukan melalui akad kafalah dan rahn. Dimana kafalah dapat dianalogikan sebagai jaminan perorangan dalam KUH Perdata dan Rahn dipersamakan dengan Lembaga jaminan kebendaan. Ketentuan Syariah tidak mengatur jelas tentang jenis pengikatan barang agunan sebagaimana Fatwa DSN-MUI yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu pengikatan agunan pada pembiayaan Syariah dilakukan berdasarkan ketentuan yang berlaku mengenai Lembaga jaminan sebagaimana yang berlaku di Lembaga keuangan konvensional. Dengan demikian, pengikatan agunan ini dapat dilakukan melalui ; gadai, hak tanggungan, firdusia, hipotek dan jaminan perorangan. Persyaratan agunan dalam pembiayaan Syariah sebagai jaminan khusus menempatkan Lembaga keuangan Syariah pada kedudukan istimewa apabila terjadi wanprestasi dibanding agunan yang bersifat umum. Hal ini dikarenakan agunan dalam pembiayaan tersebut timbul akibat adanya perjanjian pembiayaan. Sedangkan pada Lembaga keuangan Syariah selaku pemegang agunan khusus mempunyai kedudukan sebagai kreditur preferen dibanding kreditur-kreditur lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Tunjukkan Tren Positif, e-Katalog LKPP Capai Transaksi 161,3 Triliun di Tahun 2023

Kepala LKPP, Bapak Hendrar Priadi, menyampaikan optimisme LKPP pada tahun 2023 akan mencatat angka yang lebih tinggi, meskipun pencatatan yang dilaporkan belum mencapai tahap final.Hal ini disampaikan karena rencana umum pengadaan yang terealisasi sudah mencapai 65,3%, sementara masih terdapat 34,7% yang belum terealisasi

Kenali Empat Jenis Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah Menurut LKPP RI Perpres No. 12 tahun 2021

Pengadaan barang/jasa pemerintah juga telah memiliki unit Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) yang dirancang untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas, meningkatkan akses pasar dan persaingan usaha yang sehat, memperbaiki tingkat efisiensi proses pengadaan, mendukung proses monitoring dan audit serta memenuhi kebutuhan akses informasi yang real time guna mewujudkan clean and good government dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.