Marketing

Elevating Sales Through Creative 'ATM' TikTok Strategies: Success Lessons in Social Commerce

10 September, 2023.

Author: Ronald Rulindo
Co Author: Mulky Rizfy Azhom

Hai rekan Systeams!, Baru-baru ini dr. Richard Lee berhasil mengumpulkan 41 Miliar dalam satu sesi live streaming pada platform Tiktok. Konon, rekor penjualan ini menjadi rekor tertinggi pada penjualan melalui platform tersebut se Asia Tenggara!. sebelumnya, Dr. Richard Lee juga pernah mengadakan Shopee Live dan berhasil menghasilkan omzet sebesar Rp8 Miliar pada siaran langsung pertamanya di platform tersebut. Shopee Live.

Tapi lupakan dulu tentang dr. Richard Lee. Mari kita membahas tentang Tiktok saja dulu. Pernahkah Anda menyadari bahwa TikTok, platform yang dulunya hanya digunakan untuk berbagi video pendek dan bahkan, bintang terkenalnya saja seperti Bowo Alpenliebe di cap “alay”, bisa jadi terkenal seperti saat ini? Tiktok bukan sosial media yang pertama. Ada Friendster, Myspace, Facebook,  Twitter, Path, Instagram, serta Snapchat telah ada sebelumnya. Tiktok juga bukan social media pertama yang menggarap social commerce. Tapi pertanyaannya, mengapa Tiktok Shop bisa sukses seperti saat ini?

TikTok Shop telah mengalami pertumbuhan yang pesat dalam dua tahun terakhir. Pada tahun 2022, TikTok Shop menghasilkan lebih dari $100 miliar dalam penjualan, jumlah penjual meningkat lebih dari 10 kali lipat, dan jumlah pembelian meningkat lebih dari 50 kali lipat. TikTok Shop telah mengalahkan para pesaingnya di bidang social commerce, seperti Facebook Marketplace dan Instagram Shopping, yang masing-masing menghasilkan $80 miliar dan $40 miliar dalam penjualan pada tahun 2022. TikTok Shop menyumbang lebih dari 70% dari total penjualan social commerce di China.

Sejak diperkenalkannya TikTok Shop, pendapatan TikTok selalu meningkat dua kali lipat setiap tahunnya. Tiktok berhasil menggabungkan social media dan e-commerce menjadi social commerce yang sukses, dan bahkan mengalahkan para pendahulunya. Pertanyaannya, adalah, bagaimana TikTok berhasil melakukan hal tersebut? Apa rahasia sukses di baliknya? Dan, bagaimana rekan systeams bisa menerapkan strategi ini terutama dalam aspek bisnis syariah?

Sebenarnya, yang dilakukan TikTok hanyalah strategi “ATM”, atau Amati, Tiru, dan Modifikasi. Strategi ini sudah lazim diterapkan terutama oleh pebisnis-pebisnis Tiongkok dari zaman dulu, yang memang paling jago menciptakan barang tiruan tetapi dengan harga yang jauh lebih murah. Walaupun  dahulu produk tiruan dari Tiongkok terkesan murahan dan kualitas rendah, tetapi saat ini, kompromi terhadap kualitas bukan lagi menjadi andalan mereka dalam meraih keuntungan. Justru strategi ATM dan meningkatkan kualitas lah sebenarnya yang menjadi kunci sukses para pebisnis Tiongkok saat ini, dan ini juga diterapkan oleh Tiktok.

Jika kita kembali ke seperempat milenium sebelumnya, platform sosial media mulai bermunculan semenjak  tahun 1997. Dimulai dengan SixDegrees.com, platform yang memungkinkan pengguna mengunggah foto profil dan berkoneksi dengan pengguna lainnya. Beberapa tahun kemudian, hadirlah  Friendster sebagai sosial media “pertama” yang meraih perhatian global secara massif. Sebenarnya, selain Friendster, ada Myspace yang lebih “nge-trend” di Amerika Serikat. Friendster dan Myspace menjadi pelopor tren media sosial di dunia maya. Meskipun hadir lebih dahulu, kedua platform ini kalah bersaing dengan hasil karya Mark Zuckerberg, yaitu Facebook.

Sejak Facebook dibuka untuk umum pada tahun 2005, pengguna aktif media sosial terus tumbuh pesat. Keberhasilan Facebook menarik banyak pengguna dan mendorong platform lain untuk mencapai kesuksesan serupa dalam ranah media sosial. Hanya saja, platform-platform tersebut mengalami kesulitan untuk menghasilkan pendapatan yang signifikan. Mereka cenderung bergantung pada iklan dan investor untuk mendanai bisnis dan operasional mereka. Sebagai solusi, platform sosial media itu pun memperkenalkan fasilitas berjual beli untuk para penggunanya, seperti halnya e-commerce yang telah terlebih dahulu tersedia.

E-commerce sebenarnya telah muncul sejak tiga puluh tahun yang lalu. Namun, keterbatasan akses internet di berbagai belahan dunia telah membuat bisnis ini baru mencapai popularitasnya saat platform media sosial mulai berkembang. Salah satu pemain awal dalam dunia e-commerce adalah eBay, yang mendirikan situs lelang online pada tahun 1995. Situs ini memungkinkan pengguna untuk menjual barang bekas maupun baru kepada pengguna lainnya.

Selanjutnya, Amazon muncul, awalnya hanya berfokus pada penjualan buku, namun kemudian berkembang ke berbagai kategori produk lainnya, termasuk elektronik, pakaian, dan makanan. Amazon kini menjadi salah satu perusahaan e-commerce terbesar di dunia, dengan nilai pasar yang melebihi $1 triliun.

Di Tiongkok, Alibaba didirikan oleh Jack Ma pada tahun 1999 dan kemudian menjadi pemimpin dalam industri e-commerce dunia. Alibaba awalnya berfokus pada penjual grosir, tetapi seiring berjalannya waktu, berkembang menjadi platform e-commerce yang melayani berbagai jenis konsumen. Alibaba telah menjadi kekuatan besar dalam industri e-commerce, dan telah mengubah cara orang berbelanja di seluruh dunia. Perusahaan ini telah membantu mendemokratisasi perdagangan, dan telah memungkinkan bisnis kecil dan menengah untuk bersaing di pasar global.

Hanya saja, meskipun berhasil menghasilkan pendapatan, e-commerce masih memiliki kelemahan. Mereka  kesulitan mempertahankan basis pengguna mereka dan belum mampu memberikan pengalaman yang memuaskan kepada pembeli. Nah, disisi ini lah kemudian Tiktok mengambil peluang dan ikut bermain dalam dunia social-commerce. Social- commerce sendiri adalah konsep pemanfaatan media sosial untuk keperluan promosi, penjualan, dan pembelian langsung di dalam aplikasi media sosial. Konsep ini memberikan pengalaman berbelanja yang nyaman dan interaktif bagi konsumen, dan menjadi peluang bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah untuk berkembang.

ByteDance sebagai induk perusahaan TikTok melihat peluang besar untuk menggabungkan kedua sosial media dan e-commerce menjadi social-commercenya. Kembali, walaupun bukan social-commerce yang pertama, Tetapi, Tiktok berhasil menghadirkan pengalaman berbelanja bagi para anggota mereka melalui video Tiktok Live.  Dengan basis pengguna yang luas dan potensi bisnis yang menggiurkan, TikTok berhasil menjadi raja dalam ranah social- commerce saat ini.

Hanya saja, semuanya terjadi tidak begitu saja.
Perjalanan sejarah ini dimulai pada tahun 2016, saat TikTok pertama kali dirilis di Tiongkok dengan menggunakan nama Douyin. Platform ini mirip dengan Snapchat, yaitu aplikasi video singkat. Walaupun sudah berkembag cukup pesat hingga ke manca negara, citra Tiktok saat itu tidak terlalu “baik” dan bahkan sempat di blokir oleh Pemerintah Republik Indonesia. Setelah serangkaian Upaya memperbaiki citra mereka, ByteDance selaku pemilik Tiktok kemuduian untuk mengakuisisi aplikasi Musical.ly, sosial media yang saat itu memimpin di bidang berbagi video singkat di Amerika Serikat. Setelah diakuisisi, platform tersebut ikut dinamakan menjadi TikTok agar terdengar lebih segar dan setelah itulah Tiktok berkembang pesat..

Hingga Maret 2023, jumlah pengguna Tiktok mencapai 1.6 miliar. Dengan pertumbuhan pesat TikTok, mereka mulai melebarkan model bisnis mereka. Pada tahun 2021, TikTok resmi menjadi social-commernce setelah memperkenalkan fitur TikTok Shop di platformnya.

Pendapatan TikTok juga tumbuh hampir dua kali lipat setiap tahun setelah meluncurkan fitur tersebut. Pada akhir tahun 2022, TikTok berhasil mengumpulkan pendapatan sebesar USD 9.4 miliar, meningkat dari USD 4.6 miliar  pada tahun 2021.

Nah, rekan SysTeams sekalian, apa saja yang bisa kita pelajari dari pengalaman Tiktok ini? Paling tidak, ada beberapa poin yang bisa kita pelajari. Pertama, semua pasti butuh proses. Jadi, slogan Tokopedia “Mulai aja dulu” itu memang benar. Tiktok ketika baru memulai bisnis tidak langsung sukses. Bahkan  mereka menghadapi berbagai masalah besar.

Kedua, berkomitmen tinggi untuk mengadakan perbaikan. Itu lah yang dilakukan oleh Tiktok. Mereka berkomitmen tinggi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi seperti memperketat filter tayangan untuk mencegah adanya konten dewasa yang menjadi keberatan Pemerintah Republik Indonesia ketika memblokir Tiktok di masa lampau.

Ketiga, tentu saja ATM: Amati, Tiru, Modifikasi. Itulah yang dilakukan oleh Tiktok. Sebagai social media yang baru muncul belakangan, mereka belajar dari kesalahan dan kegagalan platform sosial media yang telah muncul sebelumnya.

Tetapi yang paling penting adalah poin berikutnya yaitu poin ke empat: Jangan hanya ATM pada satu model bisnis saja. Kalau bisa lebih dari satu, seperti yang dilakukan Tiktok dengan menggabungkan sosial media dan e-commerce, kemudian menyempurnakannya. Hal ini menghasilkan dampak yang lebih besar. Karena selain menyasar pasar yang jumlahnya juga besar tetapi mampu memenuhi kebutuhan pasar yang belum dapat mereka nikmati. Otomatis, mereka tinggal menuai market saja sebenarnya.

Bagaimana rekan Systeams sekalian? Tertarik mencoba menggunakan strategi yang sama? Selamat mencoba ya.

Gaining Insight into BerbieHeimer's Advances Marketing Approaches

Have you watched the films Barbie and Oppenheimer yet? Interestingly, both of these films, screened simultaneously, have garnered exceptional attention from the public. In fact, marketing experts have pointed out that both of these films employ a marketing strategy known as counterprogramming. But what exactly is this strategy?

MSMEs Strategies to Face Project S TikTok in Indonesia

Recently, the TikTok realm has been abuzz with content related to Project S TikTok, shared by a YouTuber. However, unfortunately, TikTok banned this content, citing reasons related to gambling. So, what exactly happened, and what are the reasons behind it?

13 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *